Menarik

Bagian Tersulit saat Menjadi Dokter

Menjadi dokter seringkali digambarkan sebagai profesi yang glamor, mulia, dan menjanjikan. Tapi di balik jas putih, stetoskop melingkar di leher, serta ruangan praktik nyaman itu, ada banyak tantangan berat yang harus dihadapi.

Jadi sebelum tergiur menjadi dokter karena gaji besar atau gengsi di masyarakat, kamu wajib tahu dulu apa aja sich bagian tersulitnya. Biar nggak kaget di tengah jalan dan nyesel setengah mati!

Jam Kerja tak Terbatas Kayak Setrikaan

Hal paling umum dikeluhin dokter ya soal jam kerja yang super padat tanpa batas yang jelas. Bisa jadi 12, 15, bahkan 24 jam nonstop kalo lagi sial.

Pas era koas atau residensi, ya mau nggak mau harus siap siaga 24 jam sehari buat tanganin kasus apapun. Konsulen dadakan, operasi mendadak, pasien kritis muncul tiba-tiba, ya pasti selalu ada aja alasannya buat bertahan di rumah sakit.

Nah pas udah jadi spesialis atau dokter umum pun, jam praktik bisa molor hingga malam. Apalagi kalo lagi penuh antrian pasien yang dateng tiba-tiba.

Intinya jadi dokter itu kayak jadi tukang setrika, mesti siap sedia kapanpun ‘dipencet’ buat melayani kebutuhan orang lain!

Selalu Was-Was Soal Keputusan Medis

Tebak, pertanyaan apa yang paling sering muncul di benak dokter saat lagi menangani pasien?

\”Apa keputusanku ini bener ya?\”

Sepanjang karirnya, dokter harus selalu was-was dan tegang setiap mau mengambil tindakan medis apapun. Apalagi pas banget lagi darurat dan mepet waktu.

Salah sedikit aja bisa fatal akibatnya. Nyawa pasien ada di tangan kanan, mental dokter dipertaruhkan di tangan kiri. Killer banget!

Karena itu saat dihadapkan pada pilihan sulit macam:

  • Operasi berisiko atau tidak sama sekali
  • Memberi obat ini atau itu
  • Melakukan tindakan invasif atau tidak

Dokter harus bisa memutuskan pilihan terbaik dalam hitungan detik, itupun tanpa ragu sedikitpun!

Bisa dibayangkan betapa beratnya…

Menyaksikan Penderitaan dan Kematian Pasien

Salah satu dampak ikutan dari profesi medis adalah harus berhadapan langsung dengan penderitaan bahkan kematian pasien.

Hal ini jelas berat mentalnya apalagi buat dokter yang masih junior dan belum berpengalaman. Bayangin aja mesti ngerasa bersalah atau gagal setiap ada nyawa melayang di tangan.

Ditambah harus tetap stay cool dan profesional walau hati lagi perih kecut melihat kondisi pasien sekarat di hadapan mata kepala sendiri.

Bukan hal mudah sama sekali, seringkali berakibat tekanan mental hebat alias depresi hingga kelelahan kompasi yang bikin dokter kebakaran jenggot sendiri.

Risiko Tertular Penyakit Pasien

Sebagai garda terdepan dunia medis, para dokter dan paramedis tentu paling rentan kena imbasnya kalo lagi musim penyakit menular merajalela kayak flu burung, sakit tenggorokan, batuk rejan, diare, hepatitis, HIV, tuberkulosis (TBC), bahkan virus korona baru-baru ini.

Apalagi kalo sampai ada wabah besar yang meluas, tingkat risiko tertularnya jelas melambung tinggi banget. Karena interaksi langsung sama penderita sakit kan nggak bisa dihindari.

Ditambah tingkat kelelahan fisik yang ekstrem, daya tahan tubuh otomatis menurun sehingga makin gampang kena paparan kuman atau virus infeksius dari pasien.

Walhasil bukannya nolongin orang, malah balik diopname ke rumah sakit gara-gara ketularan penyakitnya pasien sendiri. Untungnya sih biasanya gejalanya nggak separah kena virus baru yang belum ada obatnya.

Terus Belajar Hal Baru Sepanjang Karir

Profesi dokter adalah salah satu bidang yang paling dinamis perkembangannya. Setiap saat, setiap detik selalu ada temuan-temuan medis baru dari seluruh dunia.

Mulai dari teknik operasi super canggih, obat-obatan terbaru, terapi revolutionary, hingga alat kedokteran high-tech hasil riset mutakhir.

Nah sebagai praktisi medis, dokter wajib selalu up to date mengikuti semua kemajuan itu. Kalo ketinggalan, ya sama saja bohong namanya dokter.

Makanya sampai tua renta pun, rutinitas dokter ya belajar terus lah. Baik lewat kursus singkat, konferensi internasional, simposium kedokteran, pelatihan hands-on, kelas online, baca jurnal penelitian, dan seterusnya.

Capeknya luar biasa buat otak yang dipaksa terus menampung informasi kedokteran tak henti-henti dari sejuta sumber berbeda. Belum yakin mau jadi dokter?

Administrasi Menggunung Kayak Gunung Salak

Selain dituntut fokus menangani pasien, dokter juga harus rajin ngurusi tumpukan berkas dan administrasi yang nggak ada habisnya.

Mulai laporan medis pasien, rekam asuransi kesehatan, data rawat inap/jalan, klaim penggantian obat, rincian biaya perawatan, korespondensi antar instansi medis, dan masih banyak lagi.

Dan semuanya harus dilakukan super teliti tanpa cela. Salah isi data atau keliru hitung-hitungan, bisa berabe urusannya.

Butuh Biaya Kuliah sampai Ratusan Juta

Buat masuk fakultas kedokteran (FK) favorit macam UI, UGM, Unair, Unpad, UNDIP, dll., pendaftarannya aja udah seketat tes masuk Brimob tau Kopassus!

Apalagi kuliahnya yang makan waktu panjang, 6 tahun rata-rata, ditambah 3-5 tahun spesialisasi di RS. Total minimal 9-11 tahun deh!

Dengan biaya kuliah rata-rata 50-100 juta per tahunnya. Belum biaya praktik, buku referensi mahal, alat medis, sertifikasi, pulsa telepon, kuota internet, dll.

Total keseluruhan bisa mencapai ratusan juta untuk jadi dokter spesialis! Lumayan bikin jebol kocek memang.

Resiko Digugat Pasien yang Merasa Dirugikan

Sebagus apapun seorang dokter, tetap aja manusia biasa yang nggak luput dari kesalahan alias medis error. Apalagi kalo kondisi pasiennya already severe atau faktanya emang nggak tertolong lagi.

Kesalahan terkecil pun berpotensi memicu tuntutan hukum dari keluarga pasien yang merasa dirugikan.

Bukan nggak mungkin, surat panggilan polisi, somasi, bahkan gugatan resmi mendarat ke meja sang dokter. Membuka potensi vonis hukuman penjara atau setidaknya kehilangan lisensi praktik dan mencoreng nama baik selama-lamanya.

Ini salah satu mimpi buruk sepanjang karir dokter menurut survei di Amerika. Makanya waspada dan berhati-hati tetap no.1!

Kesulitan Menyeimbangkan Karir & Keluarga

Jam kerja dokter yang super padat dan 24/7 ternyata berdampak buruk buat kehidupan pribadinya, terutama ranah keluarga.

Bukan hal aneh jika banyak dokter yang usianya masih muda tapi sudah berkali-kali gagal mempertahankan hubungan percintaan dan rumah tangga.

Karena waktu dan perhatian lebih banyak tersita untuk mengurusi pasien ketimbang sang pujaan hati sendiri.

Apalagi pas baru naik pangkat menjadi kepala tim/spesialis senior, bebannya makin bertambah berat aja rasanya. Mana sempet mikirin bulan madu atau dinner berdua coba?

Makan pun Jarang Teratur Apalagi Olahraga

Lantaran hobi lembur dan begadang terus menerus, otomatis banyak dokter yang pola makan serta istirahatnya jadi amburadul nggak karuan.

Untungnya sempet ngemil 3 piring nasi kucing sama telor dadar kantin rumah sakit, itupun sambil berdiri dan kebagian 15 menit doang. Sisanya cuma ngopi, merokok, sama ngemil snack seadanya buat ngusir laper dan kantuk.

Olahraga? Emangnya sempet buat mikirin gym dan baju olahraga lengkap dengan sepatu dan tasnya yang ribet itu ya? Berdoa aja dapet jatah ranjang kosong di rumah sakit buat sekedar merem sebentar.

Lama-lama efek gaya hidup super sibuk nan kurang sehat ini ya berimbas ke badan juga. Berat badan naik drastic gara-gara fast food melulu, punggung bungkuk, kondisi fisik melemah, daya tahan otot menurun. Belum depresi dan burn out alias kelelahan mental luar biasa.

Jarang Berkumpul Bareng Keluarga & Teman

Lantaran domisili kerja biasanya terpencil jauh dari keluarga, maka wajar aja kalo interaksi langsung antar sesama anggota jadi sangat minim.

Paling banter pas mudik lebaran atau tahun baru imlek doang bisa ketemu ortu, sodara, om, tante, sepupu dkk secara live. Sisanya ya ngobrol lewat WhatsApp atau video call melulu.

Begitu pula buat nongkrong bareng temen sejawat sesama dokter atau bidan. Palingan papasan sekilas di ruang jaga atau kantin rumah sakit doang.

Ya jelas bikin perasaan kesepian menyelimuti suasana hati para dokter muda ini. Untungnya mereka selalu sibuk jadi nggak sempet galau lama-lama sih hehe.

Pekerjaan Tak Pernah Beres Total

Satu hal unik sekaligus seram dari profesi dokter adalah pekerjaannya yang ‘never ending’ alias nggak ada komplit-komplitnya.

Mau udah visite 50 pasien sehari atau operasi 5 orang berturut-turut, pasti masih aja ada antrian panjang pasien lain di luar sana.

Kayak setrikaan aja, begitu satu tumpukan baju selesai disetrika licin, nyatanya masih menunggu gunungan baju kotornya si pemilik laundri. Gitu aja terus tiap harinya!

Kecuali mungkin pas lagi kebanjiran dokter alias rasio dokter per penduduk kelewat gede. Itupun tetep aja ada aja yang perlu dikerjakan. Ya ibarat sibuk aja kerjaannya walau nggak memuaskan hasil kerjanya.

Nah gimana, masih kuat bertahan jadi dokter setelah baca tantangannya yang sepanjang kereta api ini?

Kesimpulan

Jadi simpulan dari artikel panjang di atas ya intinya:

Menjadi dokter itu penuh perjuangan berat dan butuh pengorbanan besar di segala aspek kehidupan. Dari waktu, tenaga, pikiran, emosi, bahkan biaya kuliah dalam jumlah fantastis.

Tapi semuanya sepadan dengan manfaat dahsyat yang bisa dirasakan umat manusia berkat jasa para dokter di seluruh dunia. Karena tanpa mereka, mungkin kita cuma bisa pasrah pada takdir ajal begitu sakit keras menyerang.

Salut deh buat semua dokter yang tetap konsisten menjalankan professi mulianya ini sampai akhir hayat datang menjemput. You’re the real MVP!

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button