Menarik

Melihat Data Penyebab Indonesia Masih Impor Beras dalam Jumlah Besar

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Luas lahan pertanian Indonesia mencapai 7,7 juta hektar dengan sebagian besar ditanami padi. Logikanya, sebagai penghasil beras terbesar ke-3 dunia, Indonesia seharusnya sudah bisa berdikari dan berhenti mengimpor beras dalam jumlah besar setiap tahunnya.

Namun kenyataannya, Indonesia justru makin meningkatkan impor berasnya. Pada 2021, total impor beras Indonesia mencapai 2,6 juta ton atau naik 27% dibanding tahun sebelumnya.

Lantas, mengapa negeri agraris ini masih saja belum mampu menuju swasembada pangan, khususnya beras? Apa saja faktor utama penghambatnya? Yuk kita bahas lebih lanjut!

Latar Belakang Masalah

Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada 1984, saat produksi domestik mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Sayangnya kondisi itu tidak bertahan lama. Sejak 1997, produktivitas padi dalam negeri terus mengalami pasang surut dengan tren menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Akibatnya, pemerintah terpaksa mengimpor beras dalam jumlah besar setiap tahunnya guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Berikut data impor beras RI 5 tahun terakhir:

TahunVolume Impor (Ton)Nilai Impor (Juta USD)Sumber
2019844.163,7351.602,1BPS
2020429.207,3202.042,2BPS
2021407.741,4183.801,8BPS
20223.060.000,01.037.128,3Tirto
20233.060.000,01.037.128,3Katadata

Dari tabel di atas, kita bisa melihat bahwa tahun 2022 dan 2023 memiliki volume dan nilai impor beras tertinggi dalam lima tahun terakhir, yaitu sekitar 3 juta ton dan 1 miliar USD. Hal ini disebabkan oleh faktor iklim, cuaca, dan fenomena El Nino yang mempengaruhi produksi padi nasional12

Kondisi ketergantungan impor ini jelas tidak ideal dan berisiko. Ancaman krisis pangan selalu menghantui manakala pasokan atau harga beras impor terganggu. Seperti saat pandemi COVID-19 melanda, sejumlah negara pemasok beras membatasi ekspor sehingga menimbulkan kekawatiran di dalam negeri.

Oleh karena itu, pencapaian swasembada beras secara berkelanjutan wajib diwujudkan untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia.

Produksi Beras Lokal Tidak Mencukupi

Lantas apa penyebab utama Indonesia tak kunjung bisa swasembada beras hingga kini? Jawabannya sederhana: produksi beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi total konsumsi.

Berdasarkan data BPS, rata-rata produksi padi nasional dalam 5 tahun terakhir hanya sekitar 54-55 juta ton GKG (Gabah Kering Giling) per tahun. Jumlah ini setara dengan 31-32 juta ton beras siap konsumsi.

Sementara itu, kebutuhan konsumsi beras Indonesia per tahunnya mencapai sekitar 59 juta ton (rata-rata konsumsi beras per kapita 102 kg per tahun).

Jadi wajar saja setiap tahun kita masih mengimpor dalam jumlah besar, yakni sekitar 2-3 juta ton untuk menutupi kekurangan pasokan dari produksi lokal.

Produktivitas Padi Indonesia Kalah Saing

Selain produksi yang stagnan di angka 32 juta ton per tahun, tantangan lainnya adalah rendahnya produktivitas padi Indonesia dibanding negara-negara tetangga.

Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), pada 2021 baru mencapai 52,48 kuintal per hektar. Angka ini masih sangat rendah bila dibandingkan Vietnam (56,85 kuintal/ha) apalagi China (69,56 kuintal/ha).

Kendati demikian, angka produktivitas padi tanah air sebetulnya sudah cukup besar jika dilihat trennya dalam 20 tahun terakhir. Dari hanya 39,89 kuintal/ha di 1999, produktivitas padi RI terus meningkat hingga hampir 53 kuintal/ha pada 2021.

Sayang perbaikan ini masih belum signifikan untuk bisa mencapai swasembada berkelanjutan mengingat laju pertumbuhan produksi kalah dari peningkatan konsumsi beras tiap tahunnya.

Produktivitas padi yang rendah berarti petani kita masih kalah efisien dalam budidaya dan panen padi dibanding negara tetangga. Padahal, dengan luas panen padi hingga 9 juta hektar per tahun, seharusnya kita mampu menuai hasil lebih optimal.

Beberapa penyebab utama rendahnya produktivitas padi Indonesia antara lain:

  • Kurangnya infrastruktur pengairan (irigasi) untuk sawah tadah hujan
  • Minimnya inovasi teknologi pertanian dan varietas unggul padi
  • Budidaya konvensional dengan pupuk & pestisida kimia berlebihan
  • Perubahan iklim ekstrem yang memicu serangan hama penyakit

Tanpa revitalisasi sektor pertanian yang inovatif serta berbasis ekosistem alami, sulit bagi petani untuk bisa meningkatkan hasil panen padinya.

Alih Fungsi Lahan Pertanian Semakin Masif

Selain produktivitas yang masih terbatas, tantangan lain datang dari maraknya konversi lahan pertanian produktif menjadi area pemukiman atau infrastruktur.

Fenomena “alih fungsi lahan” ini terutama terjadi di Pulau Jawa sebagai lumbung padi nasional. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat antara 2006-2016, alih fungsi lahan pertanian di Jawa mencapai 206 ribu hektar atau rata-rata 1,26% berkurang per tahun.

Akibatnya, luas panen padi menyusut dan berdampak langsung pada turunnya produksi gabah dalam negeri. Belum lagi masalah fragmentasi atau pemecahan lahan yang kian merambah ke petani kecil.

Konversi lahan pertanian ini tentu saja ironis mengingat jumlah penduduk Indonesia terus bertambah sementara lahan subur untuk bercocok tanam semakin sempit.

Diperkirakan pada 2045 nanti, jumlah penduduk RI bakal tembus 313 juta jiwa dengan kebutuhan pangan yang jauh lebih besar. Jika tren alih fungsi lahan terus berlanjut, dipastikan negeri ini makin tergantung impor pangan dari luar.

Perubahan Iklim Picu Serangan Hama & Penyakit

Faktor alamiah lainnya yang kerap menjadi momok petani adalah cuaca ekstrem akibat perubahan iklim global. Kekeringan panjang, banjir bandang, dan serbuan hama penyakit tanaman kini makin sering melanda hampir di seluruh penjuru tanah air.

Penyebab Gagal PanenPresentase (%)Sumber
Iklim dan cuaca yang buruk40Gokomodo
Serangan OPT dan penyakit30Gokomodo
Nutrisi tanaman tidak terpenuhi10Tips Petani
Bencana alam10Kompas.com
Hama5Repo UIN
Lain-lain5Gokomodo

Menurut penelitian pada 2021, 56% petani Indonesia mengalami gagal panen akibat serangan hama dan penyakit tanaman dalam 3 tahun terakhir. Total kerugian mencapai 25% dari hasil panen.

Belum lagi kerusakan infrastruktur irigasi dan area persawahan akibat bencana alam seperti banjir dan longsor yang kerap terjadi di musim penghujan.

Kondisi ini jelas sangat merugikan petani dan berdampak signifikan pada penurunan produktivitas serta surplus beras nasional. Makin sering terjadi gagal panen di level petani, tentu impor akan makin dibutuhkan untuk menutupi kekurangan pasokan dalam negeri.

Sarana Pertanian Masih Terbatas

Infrastruktur pertanian yang minim serta teknologi budidaya konvensional juga jadi penghambat bagi peningkatan hasil panen. Mayoritas petani masih bercocok tanam secara tradisional dengan keterbatasan modal & pengetahuan.

Menurut sensus pertanian BPS pada 2018, baru sekitar 30% petani RI yang menerapkan mekanisasi untuk budidaya dan panen padi. Sisanya masih bertumpu pada tenaga manusia with hoe and blade secara manual.

Selain itu, teknik budidaya padi seperti sistem tanam jajar legowo juga baru diterapkan sekitar 21% petani padi. Sedangkan untuk irigasi, baru 45% lahan padi yang teraliri irigasi teknis. Selebihnya masih mengandalkan tadah hujan dan irigasi sederhana.

Kendati demikian, program pemerintah untuk revitalisasi pertanian dan perdesaan terus digenjot demi mendorong peningkatan produktivitas. Contoh program strategis antara lain:

  • Pengelolaan irigasi dan infrastruktur pendukung
  • Penyediaan benih unggul & pupuk bersubsidi
  • Penyuluhan pertanian dan pendampingan petani
  • Penelitian & pengembangan inovasi pertanian
  • Pembiayaan program food estate di lahan suboptimal

Sayangnya, implementasi berbagai program ini masih belum merata ke seluruh pelosok. Kendala anggaran dan koordinasi lintas kementerian/lembaga juga kerap dikeluhkan.

Petani Kecil Kesulitan Akses ke Lahan

Di sisi lain, petani skala kecil yang mendominasi sektor pertanian RI juga masih dihadapkan kesulitan akses ke lahan garapan. Konversi dan fragmentasi lahan terus berlangsung tiap tahunnya.

Lahan pertanian skala ekonomis (2-5 ha) makin langka, tergantikan lahan-lahan super fragmentatif di bawah 0,3 ha yang tak lagi feasible untuk dikelola secara intensif.

Harga sewa atau beli lahan pertanian yang kian mahal juga menjadi kendala. Hal ini turut menurunkan minat generasi muda terjun ke sektor on farm. Mereka lebih memilih profesi di perkotaan ketimbang melanjutkan usaha tani orangtua.

Padahal dengan modal sumber daya manusia dan inovasi teknologi, semestinya sektor pertanian bisa dijadikan ladang emas bagi kaum milenial. Sayangnya, tren ini belum kunjung terealisasi mengingat masih banyaknya hambatan struktural yang membelit.

Kebijakan Perlindungan Petani Minim

Dari sisi regulasi, kebijakan proteksi pemerintah terhadap petani lokal dinilai masih sangat minim. Petani kerap dihadapkan persaingan yang tidak sehat baik di hulu maupun hilir.

Misalnya, tidak adanya regulasi floor price untuk melindungi petani dari anjloknya harga gabah di tingkat lokal. Para pengepul besar bebas menekan harga beli gabah petani sepenuhnya mengikuti tren pasar global.

Di sisi hilir, arus impor beras bebas masuk dari luar negeri tanpa proteksi yang memadai bagi penggilingan lokal. Akibatnya, harga beras sumber impor indonesia rata-rata 30% lebih murah dibanding beras lokal di pasaran.

NegaraHarga Beras (Rp/kg)Sumber
Indonesia10.800 – 13.000Bisnis.com
Singapura21.600detikFinance
Brunei37.000detikFinance
Timor Leste20.000detikFinance
Thailand11.160detikFinance

Kondisi ini jelas sangat merugikan petani dan penggilingan dalam negeri Andilnya dalam mendorong volume impor pun makin besar tiap tahunnya.

“Selama aturan main tidak berpihak pada kesejahteraan petani dan pelaku industri hilir, sulit bagi kita untuk benar-benar berdikari pangan. Ditambah lagi infrastruktur pertanian yang masih jauh tertinggal,”

Catatan Penting

Beberapa poin kunci yang bisa kita simpulkan dari pembahasan di atas antara lain:

  • Produktivitas padi dalam negeri masih tertinggal dibanding negara tetangga sehingga surplus produksi terbatas
  • Konversi lahan pertanian ke non-pertanian (pemukiman, infrastruktur) terus meningkat tiap tahun terutama di Pulau Jawa
  • Petani kecil sebagai penggerak utama sektor pertanian masih dihadapkan beragam hambatan struktural
  • Perubahan iklim ekstrem memicu gagal panen dan merugikan petani
  • Penerapan inovasi teknologi pertanian masih terbatas pada sebagian kecil petani
  • Kurangnya proteksi kebijakan terhadap petani lokal di tengah gempuran impor murah

Kondisi-kondisi ini yang kemudian bermuara pada ketergantungan impor beras dalam jumlah besar tiap tahunnya. Pencapaian swasembada berkelanjutan tentu membutuhkan terobosan baik on farm maupun kebijakan level makro.

Ketergantungan Impor Beras Masih Tinggi

Lantas seberapa besar ketergantungan Indonesia terhadap impor beras hingga saat ini?

Data Kementan pada 2021 menunjukkan bahwa sekitar 80% kebutuhan konsumsi beras nasional dipenuhi dari produksi dalam negeri. Sisanya sekitar 20% masih bergantung pada pasokan dari luar negeri.

Artinya dari total konsumsi beras sebesar 32,7 juta ton pada 2021, sebanyak 26 juta ton berasal dari petani lokal dan sisanya 6,7 ton diimpor.

Angka ketergantungan impor sebesar 20% ini cukup fluktuatif di tiap tahunnya. Pada 2018 misalnya, ketergantungan impor beras Indonesia sempat menyentuh 26%.

Namun berkat peningkatan produksi domestik pada 2019-2020, angka ini kembali turun ke level 20% pada 2021.

Pemerintah pun terus berupaya menekan angka impor beras melalui sejumlah kebijakan, seperti tarif bea masuk impor sebesar Rp 430/kg, larangan impor selama panen raya, hingga pemberlakuan SNI wajib untuk beras premium impor demi melindungi petani dan penggilingan lokal.

Langkah-langkah ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan impor dan mencapai swasembada berkelanjutan dalam jangka panjang. Target rasio swasembada beras nasional ditetapkan minimal sebesar 85% pada 2024.

Kesimpulan

  • Indonesia belum mampu swasembada beras karena produksi domestik masih kalah dari kebutuhan konsumsi tiap tahunnya
  • Rata-rata 59 juta ton beras dibutuhkan per tahun sedangkan produksi lokal hanya sekitar 54-55 juta ton
  • Produktivitas padi RI juga masih tertinggal dengan rata-rata 52 kuintal/ha, kalah dari Vietnam (57 ku/ha) apalagi China (70 ku/ha)
  • Beberapa kendala utama lainnya adalah alih fungsi lahan, serangan hama/penyakit, infrastruktur minim, akses lahan terbatas, serta kurangnya perlindungan kebijakan bagi petani lokal
  • Akibatnya, ketergantungan impor beras Indonesia masih cukup tinggi, yakni sekitar 20% dari total konsumsi nasional

Dengan mengatasi berbagai hambatan struktural ini, diharapkan produktivitas dan surplus beras dalam negeri bisa terus ditingkatkan sehingga impor bisa ditekan untuk mencapai swasembada yang berkelanjutan.

Pertanyaan Seputar Impor Beras RI

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan terkait impor beras dan ketahanan pangan Indonesia:

Apakah Indonesia pernah swasembada beras sebelumnya?

Ya, Indonesia sempat swasembada beras pada 1984. Sayangnya kondisi itu tidak bertahan lama akibat produktivitas dalam negeri yang fluktuatif.

Berapa persen ketergantungan impor beras RI?

Sekitar 20% dari total konsumsi nasional atau setara 6,7 juta ton (2021) yang dipenuhi dari impor. Sisanya 80% dari produksi lokal petani.

Apa saja negara pemasok beras impor utama ke Indonesia?

Thailand, Vietnam, Pakistan dan India adalah pemasok beras impor terbesar ke Indonesia dalam 5 tahun terakhir.

Bagaimana harapan swasembada beras di masa depan?

Cukup positif dengan berbagai program peningkatan produktivitas pertanian dan rehabilitasi infrastruktur yang digenjot pemerintah. Target swasembada 85% dicanangkan pada 2024.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button